KATA PENGANTAR
Opsi Terbaik Penyelesaian Utang Garuda Indonesia Maskapai plat merah, Garuda Indonesia (selanjutnya GIAA), sedang menghadapi berbagai persoalan hukum. Upaya-upaya penyelamatan seperti suntikan ekuitas dari pemerintah, mendirikan maskapai nasional baru, likuiditas, dan melepas kepemilikan kepada swasta sampai pada pilihan Pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Tidak dipikirkan sebelumnya, maskapai kebanggaan yang masuk kategori The World’s 5-Star Airlines dari Skytrax itu terlilit persoalan keuangan dan tumpukan utang. Kita dapat mengambil contoh denda senilai 19 juta dollar Australia yang harus dibayarkan kepada Australia Compettition and Consumer Commision (ACCC) dalam kasus price fixing fuel surcharge kargo. Berdasarkan perjanjian perdamaian antara Garuda Indonesia dan ACCC yang disahkan Pengadilan Federal New South Wales, pembyaran denda dilakukan secara cicilan selama 5 tahun yang bahkan baru akan dimulai dibayarkan pada Desember 2021 mendatang (Baca: court order No. (P) NSD955/2009). Persoalan ini semakin menarik jika (GIAA) jika dinyatakan pailit, kita dapat perhatikan dari Putusan No. 06/KPPU-L/2020 dimana GIAA dijatuhkan denda senilai Rp1Miliar atas dugaan kasus diskriminasi pemilihan mitra penjualan tiket umroh menuju dan dari Jeddah dan Madinah. Apakah denda akan dikonversi menjadi utang dan ACCC masuk dalam jajaran kreditur? Atau apakah akan dinilai sebagi warisan utang negara mengingat BUMN juga tetap saja merupakan bagian dari kekayaan negara dipisahkan? Mengutip dari Reuters pada Juni 2021, GIAA akan berupaya penangguhan utang kepada kreditur dan lessor melalui ‘standstill agreement’ untuk menghindari terjadinya pailit. Beberapa pesawat juga akan dikembalikan kepada lessor (Baca: Bernadette C; https://www.reuters.com/business/aerospace-defense/ garuda-indonesia-weighs-court-led-debt-restructuring-shrink-fleet-2021-06-21/, diakses pada 26 September 2021). Catatan per 21 Juni 2021, Wakil Dirut Garuda, menyebut maskapai saat ini hanya menerbangkan 41 dari 142 armadanya. Selain itu juga GIAA telah dimohonkan PKPU oleh salah satu krediturnya, My Indo Airlines, dalam perkara dengan No. Register 289/Pdt.Sus/PKPU/2021/PN. Niaga Jakarta Pusat. Permohonan PKPU itu diajukan karena adanya kewajiban perusahaan kepada MYIA yang belum dapat diselesaikan. Potensi Kegagalan GIAA dalam membayar utang-utang tentu melahirkan kekhawatiran bagi para kreditur sehingga ada kreditur yang mengajukan permohonan pailit di Australia, memohonkan PKPU dan mengupayakan restrukturisasi demi memperoleh kejelasan atas pembyaran piutang-piutangnya kepada GIAA. Apabila kita kaji, proses penagihan utang juga dapat ditempuh melalui jalur perdata, tapi pertanyaan selanjutnya upaya penagihan terbaik apa yang dapat dilakukan oleh kreditur untuk mendapatkan kembali piutangnya atau hak jaminan atas asset debitur? Manakah diantara pilihan gugatan perdata, PKPU, atau Kepailitan yang menjadi upaya terbaik untuk ditempuh? Tahun 2020 Mahkamah Agung menerbitkan SKMA No. 3/KMA/SK/i/2020 yang melarang kreditur sparatis untuk mengajukan PKPU, tapi selanjutnya larangan itu dicabut melalui SKMA No. 109/KMA/SK/IV/2020 karena melahirkan polemic akibat pertentangan larangan separatis ajukan PKPU dengan Pasal 222 UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU (UU KPKPU). Pasal tersebut tegas memberikan hak kepada debitur dan kreditur tanpa membedakan jenis kreditur untuk mengajukan PKPU. Salah satu pilihan terbaik adalah hak kreditur ajukan PKPU sebagai upaya menagih utang bagi kreditur-kreditur perbankan yang sulit dalam menagih utangnya karena kreditur justru akan mengalami kerugian bila debitur dinyatakan pailit sehingga nilai asset debitur pasca pailit akan sangat jatuh. Pilihan gugatan perdata dalam penagihan utang juga tidak sebaik PKPU karena hanya akan memerumit masalah karena proses yang begitu panjang dan tidak berkepastian. Di Indonesia, Gugatan perdata dalam praktik harus melalui 5 tingkat penyelesaian: tingkat pertama, banding, kasasi, peninjauan kembali dan ada lagi tingkat terakhir yaitu tahapan eksekusi. Pada tingkat eksekusi putusan pun harus ada aanmaaning.
Editor
Table of Contents
PRIVAT LAW
Fegha Fannissa Dyananto, ' pranoto |
227-237
|
|
Theodorus Egi Pratama R, Mochammad Najib Imanullah |
238-246
|
|
Clinton Eintstein Daniel, Ambar Budhisulistyawati |
247-257
|
|
Marsetiadi Hanggoro Moh. P, Yudho Taruno Muryanto |
258-268
|
|
Oriza Sekar Arum, Hernawan Hadi |
269-280
|
|
Irsyad Afif, Yudho Taruno Maryanto |
281-290
|
|
Trinov Gira Thimoteus, Dona Budi Kharisma |
291-299
|
|
Agung Budiarto, ' Pujiyono |
300-308
|
|
Dorvinando Bonanta Simarmata, Albertus Sentot Sudarwanto |
309-318
|
|
M Ghusni Ridho, Arief Suryono |
319-327
|
|
Alya Latifa, Ambar Budhisulistyawati |
328-338
|
|
Yemima Dian Indrahartanti, Ambar Budhisulistyawati |
339-347
|
|
Sofia Yunipuspita, ' Pranoto |
348-357
|
|
Luthfita Yuliana Nur Yumna S, Ambar Budhisulistyawati |
358-367
|
|
RA Alilah Fathyarani Prameswari, Adi Sulistiyono |
368-378
|
|
Khairul Hikmatullah Zamri, ' Pujiyono |
379-387
|
|
Rosyta Zulfa Wibowo, Munawar Kholil |
388-399
|
|
Nadzya Tanazal E.Ar, Dona Budi Kharisma |
400-410
|
|
Muhammad Alvi Sadewo, Munawar Kholil |
411-419
|
|
Anissa Febriani, ' Pranoto |
420-430
|
|
Rakhel Luckyana Putri, ' Pranoto |
431-440
|
|
Citra Hafshah Maharani, Arief Suryono |
441-449
|
|
' Luthfia, Hernawan Hadi |
450-458
|
|
Btarifia Filza Zahra, Munawar Kholil |
459-471
|
|
Sheila Devina Binti, Albertus Sentot Sudarwanto |
472-481
|