THE CHALLENGES OF IMPLEMENTING PROHIBITION OF TORTURE IN TWO LEVELS: ASEAN AND INDONESIA
Abstract
ABSTRAK
Artikel ini menganalisis implementasi larangan penyiksaan level ASEAN dan Indonesia. Pembahasan diawali perkembangan pengaturan dan ratifikasi Konvensi PBB di tingkat ASEAN. Kemudian perkembangan dalam hukum nasional Indonesia. Selanjutnya analisis ditujukan kepada tantangan dan hambatan yang mungkin dihadapi dalam mengimplementasikan larangan penyiksaan di kedua level, regional dan nasional. Hasil analisis menyatakan bahwa larangan penyiksaan termasuk sebagai hak asasi yang bersifat fundamental dan tidak dapat dicabut (non-derogable). Norma larangan penyiksaan juga termasuk sebagai ius cogen atau peremptory norm atau norma yang memaksa dan sudah dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional. Dengan demikian, meratifikasi atau tidak negara-negara anggota ASEAN dianggap terikat dan harus memenuhi kewajiban diatur dalam Konvensi Anti Penyiksaan. Terdapat kelemahan dalam tingkat ASEAN, yaitu dalam hal monitoring pemenuhan kewajiban-kewajiban Negara anggota. Badan HAM ASEAN tidak didesain sebagai pengawas yang independen, karena berada di bawah organisasi ASEAN. Pada level Indonesia, penyiksaan masih banyak ditemukan terutama untuk mendapatkan pengakuan tersangka dalam proses penyidikan dan penyiksaan dalam tahanan. Hukum di Indonesia belum berlaku maksimal. Konstitusi dan Hukum Hak Asasi Nasional sudah mengatur bahwa hak terbebas penyiksaan merupakan hak yang tidak dapat dicabut, namun demikian perlindungannya belum maksimal, mengingat KUHP tidak menjamin keseragaman pelaksanaan hukuman bagi pelaku penyiksaan. Demikian juga Pengadilan Hak Asasi Manusia tidak mempunyai kewenangan memeriksa perkara penyiksaan. Sehingga masih banyak diperlukan koreksi dalam hukum nasional, termasuk wewenang investigasi KOMNAS HAM dalam hal terjadi penyiksaan.
Kata Kunci : Implementasi, Anti Penyiksaan, Hak Asasi Manusia
ABSTRACT
This article will address the issue regarding prohibition of torture and its challenges at two levels: ASEAN and Indonesia. The prohibition of torture is considered to be a rule of “jus cogens” or peremptory norm as well as customary law. In addition the prohibition of torture is absolute and non-derogable. Therefore, it entails some obligations for states whether or not they ratify the CAT. States have the universal obligations to prevent torture and inhuman degrading treatment in their jurisdiction under international customary law. Since many of ASEAN countries do not ratified ICCPR, the AICHR have to implement the prohibition of torture based on the customary international law. In addition, AICHR needs to monitor the national law regarding the prohibition of torture. However, the AICHR lacks of protection mandate and might not functioning well especially when dealing with the allegation of the prohibition of torture or other human rights’ allegations within ASEAN jurisdiction. In Indonesia, the use of torture to get the confession is widely used by the police. Not all the perpetrators are brought to the Court of Law and are given an equitable sentences; although, Indonesia does have a regulation on prohibition of torture; the Criminal Code, the Law No 39/1999 concerning Human Rights, and the Law No. 26/2000 concerning Human Rights Courts. There is lack of competence of the Indonesian Human Rights Court to hear the violation cases. Also, there is lack of competence of the Indonesian Commission on Human Rights to investigate cases concerning torture.
Keywords: Implementation, Prohibition of Torture, Human RightsFull Text:
PDFRefbacks
- There are currently no refbacks.