KERINGANAN PENJATUHAN PIDANA SEBAGAI BENTUK PENGHARGAAN UNTUK SAKSI PELAKU (JUSTICE COLLABORATOR) (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 127/PID.SUS.TPK/2015/PN.JKT.PST)

Reza Fitra Ardhian, Winarno Budyatmojo

Abstract

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji, pengaturan tentang Justice Collaborator dalam hukum pidana Indonesia dan pertimbangan Hakim dalam memberikan keringanan penjatuhan pidana kepada terdakwa yang menjadi Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi tanpa rekomendasi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) & Penuntut Umum dalam Putusan Nomor 127/PID.SUS.TPK/2015/PN.JKT.PST. Penelitian ini bersifat normatif dengan analisis kualitatif. Penelitian ini menggunakan sumber bahan hukum primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara membaca, mengkaji, dan mempelajari bahan-bahan referensi yang berkaitan dengan materi yang diteliti untuk mendapatkan bahan primer dan bahan sekunder. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa pengaturan mengenai Justice Collaborator merupakan langkah yang baik untuk mengatasi tindak pidana korupsi di Indonesia yang saat ini sudah sangat parah. Peneliti menganalisis Putusan Nomor 127/PID.SUS.TPK/2015/PN.JKT.PST dengan terdakwa Amir Fauzi, Majelis Hakim yang mengadili & memutus perkara ini berpendapat bahwa Amir Fauzi layak menjadi Justice Collaborator sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011, namun masih terdapat syarat untuk ditetapkan menjadi Justice Collaborator yang belum terpenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 10A ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sehingga ada perbuatan penegak hukum yang melanggar asas hukum dan melanggar ketentuan sanksi minumum khusus, karena belum adanya pengaturan mengenai ketentuan keringanan penjatuhan pidana yang dapat diberikan kepada Justice Collaborator.

Kata Kunci: Justice Collaborator, Keringanan Penjatuhan Pidana, Tindak Pidana Korupsi

Abstract

This research aims to know and examine two issues, the arrangement of Justice Collaborator in Indonesian criminal law and judges consideration give penalty relief to the defendant who became Justice Collaborator in corruption case without the recommendation of Witness and Victim Protection Agency (LPSK) & Prosecutor in decision no. 127/PID.SUS.TPK/2015/PN.JKT.PST. This study is classified as normative research through content analysis. The type of data used in this research is secondary data. The technique to collect the data is done by library research, through reading, studying, and examining references which are related to the material in order to get the secondary data. The result of the research shows that the ruling of Justice Collaborator was a good way to eradicate the worsening corruption cases in Indonesia. Researcher analyzed decision No. 127/PID.SUS.TPK/2015/PN.JKT.PST with the defendant Amir Fauzi. Judges of his case agreed that Amir Fauzi was worth the name Justice Collaborator in accordance with Circular Letter of Supreme Court Number 04 of 2011, but that there were several requirements for a Justice Collaborator as contained in Article 28 line (2) jo. Article 10A line (4) of The Law Number 13 of 2006 jo. The Law Number 31 of 2014 on Witness and Victim Protection that had not been fulfilled yet, thus there was law enforcer’s wrongdoing of breaking the principles of law and special minimum sanctions as there hadn’t been any law about conditions for granting penalty relief to Justice Collaborator.

Keywords: Justice Collaborator, penalty relief, corruption cases

Full Text:

PDF

Refbacks

  • There are currently no refbacks.