Pragmatika Sastra: Beberapa catatan Awal

Suminto A. Sayuti

Abstract

Istilah “pragmatik” dalam kaitannya dengan telaah sastra selama ini cenderung hanya dikaitkan dengan dan berhenti pada salah satu pendekatan yang dikemukakan oleh Abrams (1981), sebagai salah satu pendekatan dalam telaah sastra -- di samping pendekatan ekspresif, objektif, dan mimetik -- yang berorientasi pada seberapa jauh suatu teks sastra memberikan manfaat kepada atau mempengaruhi pembaca/audiensnya. Kecenderungan tersebut terjadi akibat begitu menguatnya pemikiran bahwa linguistika dan puitika merupakan dua disiplin yang terpisah, atau sengaja dijauhkan, yang seolah-olah keduanya tidak memiliki hubungan dialektik, timbal-balik, dan saling memperkaya. Padahal, sebenarnya keduanya sangat dekat, bahkan tak terpisahkan, apalagi jika disadari bahwa bahasa[1]merupakan medium sekaligus materi teks kreatif yang disebut sastra itu. Adanya model-model telaah sastra seperti skema aktansial Greimas dan puitika struktural Culler, untuk sekedar menyebut contoh, sesungguhnya menunjukkan betapa pentingnya linguistika bagi puitika. Catatan pengantar ini disampaikan dengan harapan mampu menginspirasi muncul dan berkembangnya pragmatika sastra yang sesuai dengan hakikat ontologis susastra Indonesia.

[1] Dalam kaitan ini, seperti dinyatakan oleh Lotman (1977), pengertian yang terkandung dalam istilah “bahasa” tidak hanya berasosiasi dengan pengertian bahasa Indonesia, Inggris, Jawa, dan yang sejenisnya; atau pada sistem-sistem yang digunakan untuk mendeskripsikan kelompok-kelompok fenomena partikular (yang kita sebut “bahasa artifisial” atau metabahasa dari sains tertentu); tetapi juga terkait dengan kebiasaan, perdagangan, ritual, makan (yang tidak berarti mengisi perut karena lapar), dan konsep-konsep religius. Karenanya,  kita dapat berbicara “bahasa” teater, sinema, lukisan, musik, dan seni sebagai keseluruhan, sebagai bahasa yang diorganisasikan dalam suatu cara partikular. Sekali kita mendefinisikan seni (termasuk sastra) sebagai bahasa, opini-opini tertentu yang terkait dengan strukturnya hendaknya juga kita nyatakan dengan catatan dan cara yang sama. Setiap bahasa menggunakan tanda-tanda yang membangun “vokabuler” atau “alfabet”-nya; setiap bahasa memiliki kaidah tertentu untuk mengombinasikan tanda-tanda tersebut, dan setiap bahasa merupakan sebuah struktur hierarkis.

 

Full Text:

PDF

Refbacks

  • There are currently no refbacks.