KARTINI DAN POTRET PEREMPUAN INDONESIA MASA KINI (Sebuah Tinjauan Antropologis)
Abstract
Pemahaman mengenai Kartini harus dilihat dalam konteks lebih satu abad yang lalu. Orang sering salah mengartikan dengan mengatakan bahwa cita-cita Kartini sudah berhasil. Perempuan sudah sejajar dengan laki-laki, paling tidak perempuan sudah boleh mengenyam pendidikan yang sama seperti laki-laki. Kartini sebagai sosok ‘ibu’ dengan identitas kultural Jawa yang melekat pada sosoknya. Yang menjadi urgensi adalah melihat bagaimana pemikiran dan gagasan Kartini tentang perempuan dan tentang pembebasan perempuan. Kartini jelas telah berusaha mendobrak tatanan kultur yang ada patriarkal meskipun negara telah menyembunyikannya sedemikian rupa. Apabila gagasan dan pemikiran Kartini didengungkan baik di tingkat pendidikan maupun dalam masyarakat luas maka yakinlah bahwa Kartini bisa tersenyum melihat perempuan-perempuan dan bangsa Indonesia yang kritis, berpemikiran tajam, lepas dari bentuk penjajahan yang dilakukan oleh kapitalisme dan neoliberal. Perempuan Indonesia akan menjadi Kartini baru, atau mungkin serupa dengan sosok Nyai Ontosoroh dalam novel tetralogi Pramoedya, perempuan yang kritis, tajam dan tak kenal ampun dengan kultur yang menindas perempuan.
Keywords
Full Text:
PDF (Bahasa Indonesia)References
Lasmina, Umi. (1998). “Jangan Sembunyikan Kartini” dalam Jurnal Perempuan Edisi 06 Februari – April. Halaman 63 – 68. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Rahayu, Ruth Indiah. (2003) “Sebuah Epilog: Kartini di Akhir Abad 20: Sebuah Relikwi atau Insirasi” dalam Pramoedya Ananta Toer Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Lentera Dipantara.
Sutrisno, Sulastin. (1985) Kartini: Surat Kepada NY. R.M. Abendanon dan Suaminya. Jakarta: Djambatan.
Toer, Pramoedya Ananta. (2003). Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Lentera Dipantara.
Refbacks
- There are currently no refbacks.