ANALISIS PENJATUHAN PUTUSAN DI BAWAH ANCAMAN MINIMUM PIDANA DIDASARKAN PADA SEMA NOMOR 7 TAHUN 2012 OLEH HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi Putusan Nomor 76/Pid.Sus/2016/PN. Pms)

Ratih Yustitia

Abstract

ABSTRAK

Penelitian ini mendeskripsikan dan mengkaji permasalahan, pertama bagaimana penjatuhan pemidanaan menerobos pidana minimum dalam putusan Nomor 76/Pid.Sus/2016/PN. PMS dilihat dari ketentuan yang termuat dalam KUHAP dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Kedua, bagaimana kedudukan SEMA Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksana Tugas Bagi Pengadilan yakni menerobos pidana minimum  yang dijadikan dasar hakim untuk memidana pelaku tindak pidana narkotika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penjatuhan pemidanaan menerobos pidana minimum dalam putusan Nomor 76/Pid.Sus/2016/PN. PMS terjadi karena hakim memiliki keyakinan lain. Proses persidangan ditemui fakta bahwa pelaku lebih memenuhi unsur sebagai end user, namun pasal tersebut tidak didakwakan oleh penuntut umum,  sehingga hakim menggunakan SEMA Nomor 7 Tahun 2012 untuk memidana pelaku. Adapun apabila sesuai dengan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, maka seharusnya diputus bebas. Tidak lazim bagi seorang hakim tetap memidana seorang terdakwa menerobos pidana minimum berdasarkan SEMA No. 7 Tahun 2012. Hal ini, dikarenakan SEMA bukanlah merupakan undang-undang. SEMA tidak dibuat oleh badan legislatif melainkan oleh badan yudikatif.

Kata Kunci: Pidana Minimum, SEMA, narkotika

 

ABSTRACT

This study describes and examines the problem, first, how the imposition of criminals breaks through the minimum criminality in decision No. 76 / Pid.Sus / 2016 / PN. PMS is seen from the provisions contained in the Criminal Procedure Code and Law Number 35 of 2009 concerning Narcotics. Second, how does the position of SEMA Number 7 of 2012 concerning the Formulation of the Results of the Plenary Meeting of the Supreme Court as the Acting Guidelines for the Court, namely breaking through the minimum criminal sentence which is the basis of the judge to convict the perpetrators of narcotics crimes. The results of the study indicate that the imposition of criminals breaks through the minimum criminal sentence in Decision Number 76 / Pid.Sus / 2016 / PN. PMS occurs because the judge has other beliefs. In the trial process, it was found the fact that the defendant more fulfilled the elements as end users, but the article was not indicted by the public prosecutor thus, the judge used SEMA Number 7 of 2012 to convict the defendant. Whereas if in accordance with Article 191 paragraph (1) of the Criminal Procedure Code, then it should be decided freely. It is not uncommon for a judge to remain convicted that a defendant breaks a minimum criminal sentence based on SEMA No. 7 of 2012. This is because SEMA is not a law. SEMA is not made by the legislature but by the judiciary.Keyword: Minimum Criminality, SEMA, narcotics

Full Text:

PDF

References

Buku

Anwar, Yesmil dan Adang. 2009. Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponendan Pelaksanaannya Dalam Penegakkan Hukum di Indonesia). Bandung: Widya Padjadjaran.

Marzuki, Peter Mahmud. 2014. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Mertokusumo, Sudikno. 2010. Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Jurnal

Abd. Halim. 2008. “Teori-Teori Hukum Aliran Positivisme dan Perkembangan Kritik-Kritiknya”. Jurnal Asy-Syir’ah. Vol. 42 No. II.Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Anggara Suryanagara, Alvi Syahrin,M. Hamdan, Jelly Leviza. 2016. “Dakwaan Batal Demi Hukum Setelah Pemeriksaan Pokok Perkara Dalam Sidang Pengadilan (Studi Putusan Nomor 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim)”. USU Law Journal. Vol.4, No.2 (Maret 2016) 204-220. Medan: Universitas Sumatra Utara.

Irwan Adi Cahya. 2014. “Kedudukan Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) Dalam Hukum Positif Di Indonesi”. Jurnal Hukum, Mei 2014. Malang: Universitas Brawijaya.

Jerry Thomas. 2014. “Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan di Luar Pasal yang Didakwakan dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika”. USU Law Journal. Vol 3, No 1 (2014). Medan: Universitas Sumatra Utara.

Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono. 2007. “Pola Pemikiran Hukum Responsif: Sebuah Studi Atas Proses Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia”. Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 10, No. 1, Maret 2007: 1 – 2. Sukoharjo: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Marwan Mas. 2012. “Penguatan Argumentasi Fakta-Fakta Persidangan dan Teori Hukum Dalam Putusan Hakim Kajian Putusan Nomor 181 K/Pid/2007/MA”. Jurnal Yudisial. Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 283 – 297. Jakarta: Pusat Analisis dan Layanan Informasi Komisi Yudisial Republik Indonesia.

Meirina Fajarwati. 2017. “Validitas Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Pengajuan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Ditinjau Dari Perspektif Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan”. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 14 No. 02 - Juni 2017 : 145 – 162. Jakarta : Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan Ham RI

Masyelina Boyoh, 2015. “Independensi Hakim Dalam Memutus Perkara Pidana Berdasarkan Kebenaran Materiil”. Lex Crimen, Vol. IV/No. 4/Juni/2015. Manado: Universitas Sam Ratulangi.

Nurhasan. 2017. “Keberadaan Asas Praduga Tak Bersalah Pada Proses Peradilan Pidana: Kajian”. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi. Vol. 17, No.3 Tahun 2017. Jambi: Universitas Batanghari.

Petrus CKL. Bello. 2013. “Hubungan Hukum dan Moralitas Menurut H.L.A. Hart”. Jurnal Hukum dan Pembangunan. Tahun Ke-43 No.3 Juli-Seprember 2013. Jakarta: Universitas Indonesia.

Yusti Probowati. 1995. “Putusan Hakim Pada Perkara Pidana: Kajian Psikologis”. Buletin Psikologi. Vol. III, Nomor 1, Agustus 1995. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/20014.

Refbacks

  • There are currently no refbacks.